Iman Letaknya di Otak?


        Otak merupakan bagian yang paling penting dalam eksistensi seorang manusia. Sebagaimana diutarakan oleh Prof. Eka, kerusakan pada otak manusia dalam tingkat kronis akan menurunkan kualitas seseorang sebagai manusia. Secara fisik mungkin orang itu  masih seperti manusia, tapi dia  bukan lagi manusia yang memiliki kesadaran akan eksistensinya. Kondisi demikian disebut sebagai vegetatif dalam dunia kedokteran.

Kerusakan pada otak rupanya juga berdampak pada hilangnya iman. Prof. Eka mengutip Hippocrates, menyatakan bahwa segala sesuatu (yang dipikirkan maupun dirasakan) berasal dari otak. Pemikiran Hippocrates ini rupanya terbukti oleh temuan penelitian beberapa ribu tahun kemudian. Para Scientist menemukan fakta bahwa segala sesuatu yang dieksplorasi oleh manusia tersimpan pada salah satu bagian otak bernama sinapsis. Jadi baik pikiran maupun iman merupakan buah yang berasal dari kinerja otak . Proses terbentuknya keyakinan atau pengetahuan seseorang dapat terjadi karena empat hal yaitu; persepsi, kognisi, nilai emosional, dan konsensus sosial. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa setidaknya, dalam perspektif Neuroscience tanpa otak manusia tidak dapat menjadi sosok yang beriman.

        Sayangnya dalam praktik, otak dan iman kerap kali dipandang sebagai dua hal yang bersebrangan dan seringkali bersitegang satu sama lain. Makanya ada anggapan bahwa semakin pintar seseorang semakin luruh imannya. Anggapan ini muncul, karena otak dipahami hanya sebatas tempat bagi pengetahuan, dan bukan iman. Padahal ketika menelaah Firman Tuhan, pengalaman, maupun tradisi-tradisi religius, manusia tentu  menggunakan otak. Akan tetapi berbeda dengan sains yang memberikan kebebasan berkreasi, agama memiliki kecenderungan untuk enggan memberikan ruang kebebasan bagi  Iman untuk berimprovisasi dan berkreasi. Tanpa disadari hal ini membendung potensi-potensi bagi manusia untuk terus berkembang baik itu dalam aspek fisik, sosial, maupun spiritual. Jika kebebasan berkreasi dihilangkan, dan teologi yang konvensional lebih dipertahankan ketimbang mengeksplorasi model yang baru maka ini akan mengakibatkan matinya Tuhan  (atau mungkin tepatnya matinya pemahaman tentang ketuhanan) sebagaimana terjadi di negara-negara Barat. Jika sains saja  harus berkembang untuk bertahan maka demikian pula dengan teologi. Orang beriman tidak bisa sekedar memelihara teologi yang sudah mapan dan sedemikian transenden tentang Allah tanpa memperhatikan yang imanen dan relevan dengan konteks. Tanpa upaya mengembangkan pemahaman tentang yang imanen dan relevan, teologi, iman, maupun agama akan terus tergerus dan ini adalah konsekuensi dari kemalasan mengoptimalkan fungsi otak.

Saya sangat sepakat dengan Mark Taylor yang menyampaikan bahwa aspek imanensi dan transendensi haruslah seimbang karena ketika transendensi ditekan begitu kuatnya maka hal tersebut akan mengakibatkan ketiadaan yang ilahi dalam  dunia. Ini tidak ada bedanya dengan kematian Tuhan. Karena jika Dia yang nyata hanya berada di tempat lain, maka hal tersebut seakan-akan meniadakan dunia yang kita kenal. Padahal Iman kepada yang ilahi itu harus memiliki konsekuensi bagi kehidupan nyata.  Maka dari itu, Tuhan dalam aktivitasNya  harus dilihat juga sebagai sosok yang imanen dalam dunia, dalam hal ini ia bekerja sebagai kesatuan yang integral dengan seluruh alam semesta (manunggaling) sebagai anggota-Nya dalam berkreasi. Jika Ia saja berfirman dan berkarya bagi orang di masa lampau, maka ia juga senantiasa berfirman dan berkarya di masa kini.

        Oleh karena itu, hemat saya penting bagi umat beragama untuk meredefinisi kembali makna iman. Iman bukanlah  pengharapan akan sesuatu hal yang sama sekali mustahil, atau sekedar melestarikan pemahaman yang konvensional. Melainkan iman adalah pengharapan akan kemungkinan yang dapat terjadi dan ini menuntun daya kreatifitas untuk menemukan potensi tak terbatas. Konsekuensinya Iman dan Teologi haruslah senantiasa dikawinkan dengan ilmu pengetahuan sehingga menghasilkan sesuatu yang meaningfull & acceptable sesuai perkembangan zaman. Hanya dengan  begitulah kita dapat mengoptimalkan fungsi otak sebagai alat untuk mencari dan memahami kehendak Tuhan.


Referensi: 

Seminar “Brain & Faith” bersama Prof. Dr. dr. Eka Julianta Wahjoepramono, Sp. Bs (Dokter ahli bedah saraf di Rumah Sakit Siloam, Tangerang dan Dosen UPH) di Fakultas Teologi UKDW, Jogjakarta

Prof. Mark C. Taylor dalam buku “After God: Religion & Postmodernism

Writer Note: 

1. Tulisan ini sekedar opini penulis, tidak mewakili Instansi atau pihak tertentu. 

2. Barusan Gw sekilas  nemu buku menarik judulnya “Born to Believe (Gen Iman dalam Otak)” tulisan Andrew Newberg dan Mark Waldman. Buat yang udah pernah baca coba reviewnya dong di kolom komentar...


0 Comments