Evolusi atau Penciptaan?

Iman dan fakta - creation.com


    Di jaman postmodern ini ada sebuah problem tentang ketidakcocokan gagasan tentang Tuhan dengan evolusi. Di satu sisi teisme meyakini Tuhan sebagai pencipta dan merupakan kekuatan dasar alam semesta, namun di sisi lain, evolusi melihat bahwa dunia muncul melalui proses yang tidak ada hubungannya dengan kekuatan dari apa yang disebut oleh teisme sebagai Tuhan.

    Menurut Griffin evolusi di jaman postmodern sangat erat kaitannya dengan evolusi teistik. Pertama Griffin menyatakan bahwa Tuhan tidak perlu menjadi suatu mahluk yang superanaturalistik,, oleh karena itu teisme pun juga tidak perlu bersifat superanaturalistik, melainkan bisa menjadi teisme naturalistik. Yang membedakan antara teisme naturalistik dengan teisme superanaturalistik adalah perbedaan penafsiran terhadap sifat Tuhan sebagai suatu kekuatan maha-tinggi. Teisme superanaturalistik percaya bahwa Tuhan dapat melakukan sesuatu kepada dunia seturut dengan kehendak-Nya sendiri, sedangkan teisme naturalistik menyadari bahwa hubungan Tuhan dan dunia adalah hubungan yang alamiah. Hubungan alamiah antara Tuhan dengan dunia tidak bisa diganggu oleh kehendak yang semena-mena baik oleh Tuhan maupun oleh dunia. Dengan demikian maka teisme naturalistik memahami bahwa hubungan Tuhan dengan dunia adalah hubungan yang berlangsung melalui kreativitas di antara keduanya.

    Teisme naturalistik memahami bahwa penciptaan dunia terjadi melalui suatu proses evolusi yang panjang dan lambat, dipenuhi oleh jalan buntu dan ketidaksempurnaan. Proses penciptaan hanya bisa berlangsung ketika kondisi lingkungan memungkinkannya untuk berlangsung. Demikian juga masalah penyimpangan dan kerugian pada dunia tidak bisa dicegah.

    Adapun keterhubungan yang diungkapkan oleh Griffin antara pandangan dunia modern dengan teisme naturalistik yang akan diungkapkan disini. Adapun kesamaan di antara teisme naturalistik dengan pandangan postmodern adalah penolakannya terhadap pandangan moderntitas yang bersifat nonanimistik dan mekanistik. Postmodern memiliki konsep animisme yang disebut animisme postmodern dimana pandangan ini melihat dunia sebagai yang tersusun atas satuan-satuan sesaat dari pengalaman parsial persepsi swakreatif. Tiap satuan dalam dunia bersifat spontan dan swakreatif dan saling mempengaruhi satu sama lain. Animisme postmodern menerima adanya pengaruh ilahi sebagai bagian dari dunia dengan alasan bahwa adanya kepercayaan kepada Tuhan berarti Tuhan mempengaruhi pengalaman. Maka dalam animisme postmodern adanya pengetahuan akan nilai-nilai, kebenara, keindahan, dan lain-lain semuanya itu dipahami sebagai yang berakar dari proses pembujukan ilahi.

    Teisme naturalistik memiliki kecocokan dengan ilmu pengetahuan postmodern dimana ilmu pengetahuan memahami bahwa setiap individu punya semacam kekuatan spontanitas dan kebebasan dengan demikian maka gagasan tentang Tuhan tidak melawan klaim ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan postmodern juga memahami banyaknya tingkat individu yang masing-masing otonom dan dapat saling mempengaruhi. Hubungan saling mempengaruhi tidak hanya terjadi dalam arah ke samping dan ke atas, melainkan juga ke bawah, dan menyeluruh. Penyebaban ke bawah dan ke atas dianggap sama kuatnya. Oleh karena itu gagasan tentang Tuhan dalam teisme postmodern yang memahami Tuhan sebagai jiwa alam semesta yang paling menyeluruh dapat diterima. Selain itu ilmu pengetahuan postmodern menerima adanya penentuan tujuan diri teleologis pada setiap pribadi. Namun ilmu pengetahuan postmodern tidak bergantung pada tujuan diri teleologis untuk melihat perilaku semua organisme, dengan demikian maka ilmu pengetahuan postmodern menerima jenis penyebaban pada mahluk yang biasanya disebabkan oleh pengaruh teistik.

Contoh Seleksi alam


    Peneliti Ilmu pengetahuan postmodern sejumlah besar menolak gagasan panseleksionis yang menyatakan bahwa seleksi alam adalah satu-satunya daya yang bekerja di alam. Ini berarti bahwa postmodern juga memahami bahwa tidak semua sifat turun-temurun harus dihubungkan dengan genetik, karena mungkin ada sebuah pengaruh dari masa lalu yang tidak tercantum dalam gen. Ini kemudian menjelaskan bahwa ada kemungkinan suatu evolusi memiliki arah, dan arah ini bisa mencerminkan adanya pengaruh teistik.

    Teisme postmodern menyarankan bahwa Tuhan menjadi jiwa yang memberi rasa pada alam semesta untuk mengaktualisasikan nilai-nilai yang menghasilkan pengalaman lebih besar. Kekayaan pengalaman ini kemudian mendorong ketertarikan eksternal yang lebih besar. Teisme postmodern menjelaskan bagaimana pengaruh ilahi dapat bekerja pada aktualisasi nilai-nilai pada alam. Pertama, Tuhan mempengaruhi mahluk secara langsung bukan dalam aspek jasmani, melainkan dalam aspek peristiwa yang tersembunyi dan rumit (nilai, ideal, kemungkinan). pengaruh Tuhan ini adalah tawaran, bukan paksaan, Tuhan menawarkan selera kepada para mahluk yang kemudian berpengaruh pada pengaktualisasian kemungkinan-kemungkinan. Kedua, tuhan memberi pengaruh tidak langsung kepada setiap tingkat melalui tingkat-tingkat yang lain. Ketiga, pengaruh Tuhan adalah pengaruh yang wajar dalam hubungannya dengan proses kasual. akhirnya Griffin menyatakan bahwa bila pengaruh ilahi ini adalah suatu sifat evolusi yang teratur, maka pengaruhnya tampak tidak teratur. Pengaruh ilahi ini berlangsung sepanjang waktu, memiliki bentuk yang sama dan tanpa adanya bentuk baru yang identik dengan proses supernatural.


    Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa evolusi di jaman postmodern memiliki keterbukaan tentang adanya pengaruh Ilahi. Maka dengan demikian saya mengafirmasi pandangan evolusi teistik dimana evolusi mempunyai tujuan dan keterarahan, meskipun dengan catatan bahwa evolusi tidak bisa dilaksanakan secara instan. Dalam respons teologis ini saya ingin menghubungkannya dengan teologi penciptaan Kristen yang ortodoks (bukan dalam pengertian denominasi). Teologi penciptaan ortodoks memahami bahwa Tuhan berkuasa penuh atas dunia materi dan karena itu ia bisa memberikan keteraturan pada setiap materi. Sifat Tuhan yang mengatasi materi ini kemudian membawa paham bahwa penciptaan bukan sebuah proses evolusi, melainkan kegiatan membentuk materi yang berantakan menjadi sebuah dunia yang teratur (tidak mengandaikan adanya proses yang panjang). menurut saya sendiri pandangan evolusi di jaman postmodern merupakan pandangan yang tepat dan relevan yang tidak bertolak belakang dengan penciptaan dalam Alkitab. Evolusi dunia yang melalui tahap yang panjang dan penuh dengan ketidaksempurnaan memberikan pemahaman baru bagi penafsiran atas Kitab Kejadian. Dalam Kitab Kejadian diimani bahwa Allah memberikan keteraturan dalam dunia materi, namun upaya pemberian keteraturan ini menurut saya bukan lagi suatu pandangan yang superanaturalistik (bahwa Tuhan dengan sewenang-wenang memberi perintah kepada dunia materi). pemberian keteraturan daru Tuhan ini menurut saya harus dipahami dalam kerangka evolusi postmodern dimana Tuhan memberikan tawaran kepada materi yang berantakan, untuk dapat mengatur dirinya sendiri (Tuhan sebagai pemberi nilai dan tujuan). dengan demikian maka penciptaan dalam Alkitab tidak menunjukan sifat Tuhan yang mengatur, melainkan sifat Tuhan yang mau bekerjasama membentuk keharmonisan dan keteraturan pada dunia dalam sebuah proses yang kreatif. Ini kemudian membawa pemahaman yang positif akan alam bahwa alam tidak lagi dilihat sebagai materi yang mati dan diam, melainkan sebagai mahluk yang mempunyai pengalaman dan nilai intrinsik pada dirinya sendiri. Maka dari itu, secara ekologis manusia dapat lebih menghargai alam sebagai sahabat atau saudara, bukan mengeksploitasinya.


sumber: David Ray Griffin. “Tuhan dan Agama Dalam Dunia Postmodern”

0 Comments