Pendirian Israel Modern
Berdirinya Israel modern saat ini
tidak lepas dari tanah Palestina yang sudah sejak dulu sering disengketakan
oleh berbagai pihak. Dulu sebelum Israel modern terbentuk tanah palestina merupakan daerah yang
dikuasai oleh Kesultanan Utsamaniyah yang meliputi wilayah Israel, Yordania,
dan Palestina masa kini. Konsep pendirian
negara Israel modern berakar dari Erest Yisrael (Tanah Israel),
yang merupakan pusat wilayah kerajaan
Yehuda kuno. Pasca perang Dunia 1, LBB
memutuskan untuk memandatkan wilayah
Palestina untuk kemudiaan diadministrasikan oleh Britania (1920-1948). Baru saja Britania mendapatkan mandat atas
Palestina, tiba-tiba pada 4 April – 7 April 1920 terjadi kerusuhan nabi Musa
atau kerusuhan Yerusalem yang mengakibatkan ketegangan antara Arab dan juga
Yahudi karena imigrasi Zionis. Akibat dari peristiwa ini adalah kekerasan
terhadapa kota orang Yahudi. Britania tidak sanggup mengatasi masalah ini dan
akhirnya timbul sikap ketidak percayaan terhadap berbagai pihak. Tak lama
setelah kejadian itu pada tahun 1945, Britania malah ikut terlibat konflik
dengan orang Yahudi, dan rupanya masalah antara Arab dan Yahudi tetap tidak
dapat terselesaikan yang mengakibatkan
Britania menarik mandatnya atas Palestina pada 1947. Situasi ini
kemudian mendorong PBB yang baru saja terbentuk merencanakan pembagian tanah
palestian menjadi dua bagian, yaitu satu negara arab dan satu negara Yahudi. Untuk
menghindari konflik PBB menetapkan Yerusalem sebagai kota Internasional –corpus
Separatum- yang dikelola oleh PBB. Hal ini diterima dengan baik oleh orang
Yahudi akan tetapi Arab menentang rencana pembagian ini. Alasannya dikarenakan
Arab merasa tidak diuntungkan sebab
Yahudi yang populasinya hanya 30% dari penduduk di wilayah Palestina
tetapi malah mendapatkan jatah wilayah lebih besar yaitu 55%. Perang pun mulai
terjadi dikarenakan penyerangan oleh para komite tinggi Arab terhadap Yahudi
yang mulanya yahudi bersifat defenif menjadi ofensif. Pada 14 Mei 1948 sehari
sebelum mandate britania berakhir, agensi Yahudi memproklamsikan kemerdekaan
dan menamakan dirinya sebagai Israel.
Hal ini membuat penyerangan oleh lima negara Arab yaitu Mesir,
Suriah,Yordania, Lebanon, dan Irak terhadap Israel. Peperangan terus berlanjut
selama setahun lamanya yang berakhir dengan gencatan senjata dan deklarasi batas wilayah sementara atau
garis hijau. Yordania kemudiaan menguasai wilayah tepi Barat dan Yerusalem
Timur sedangkan Mesir mengkontrol Jalur Gaza.[1]
Six Day War
Pada tahun 1949, perang akhirnya
berhenti, namun masalah sengketa antara Israel dengan komunitas Arab tetap
belum terselesaikan. Selama periode pasca perang tersebut, para pengungsi Arab
Palestina juga mulai melakukan serangan sembunyi-sembunyi ke wilayah Israel
dengan memakai wilayah negara-negara Arab di sekitar Israel sebagai markasnya,
salah satunya dari wilayah Yordania. Serangan demi serangan yang dilakukan oleh
para gerilyawan Palestina lantas memancing Israel untuk melakukan serangan
balasan ke desa As-Samu, Yordania, pada tahun 1966. Serangan Israel ke wilayah
Yordania tersebut tak pelak memancing kemarahan pemerintah Yordania, terlebih
karena ada tentara Yordania yang dilaporkan tewas akibat serangan tersebut.
Maka, tak lama sesudah peristiwa serangan di As-Samu, Yordania mulai
memobilisasi pasukannya di sepanjang perbatasan Yordania-Israel dan mulai
meningkatkan kontak dengan negara-negara Arab lainnya kalau-kalau perang
melawan Israel meletus kembali.
Selain dari Yordania, Israel juga
mendapatkan serangan-serangan sporadis dari para gerilyawan Palestina yang
bermukim di Suriah. Merasa kesal dengan Suriah yang dianggap sengaja menyokong
para gerilyawan tersebut, pada tahun 1967 Israel mengancam akan mengambil
tindakan militer bila tidak ada respon lebih lanjut dari pemerintah Suriah
untuk membatasi aktivitas gerilyawan-gerilyawan Palestina di wilayahnya. Tak
lama sesudah keluarnya ancaman tersebut, Suriah & sekutunya Uni Soviet
memperingatkan Mesir kalau Israel berencana melakukan serangan besar-besaran ke
Suriah. Karena Mesir & Suriah memiliki perjanjian militer akan saling
membantu bila salah satu dari keduanya diserang, maka kabar tersebut langsung
direspon Mesir dengan mulai memobilisasi pasukannya di Semenanjung Sinai,
wilayah timur Mesir yang berbatasan langsung dengan Israel. Selain karena
masalah solidaritas dengan Palestina & Suriah, Mesir juga memiliki dendam
pribadi dengan Israel karena Israel dulu pernah menyerang wilayah Mesir
bersama-sama dengan Inggris & Prancis pada tahun 1956 ketika terjadi krisis
status kepemilikan Terusan Suez. Bulan Mei 1967, Mesir meminta pasukan
perdamaian PBB yang beroperasi di Sinai, Mesir timur, untuk segera meninggalkan
lokasi tersebut. Masih di bulan yang sama, Mesir juga melarang kapal-kapal
berbendera Israel untuk beroperasi di Selat Tiran yang terletak di antara Sinai
(Mesir) & Arab Saudi. Merasa khawatir dengan perkembangan tersebut, pada
bulan Juni 1967 parlemen Israel setuju untuk memulai serangan lebih dulu dengan
harapan bisa melumpuhkan pasukan negara-negara Arab sebelum mereka menyerang
Israel lebih dulu. Dengan keluarnya keputusan tersebut, pecahnya Perang
Arab-Israel episode baru pun tak terelakkan lagi.
Tanggal 5 Juni 1967 di bawah kode
sandi "Operasi Fokus", pesawat-pesawat tempur Israel secara mendadak
melancarkan serangan ke pangkalan-pangkalan udara milik Mesir. Akibat serangan
tersebut, Mesir yang sebelum perang merupakan negara Arab dengan kekuatan
militer terlengkap & termodern kehilangan sebagian besar pesawat tempurnya.
Hancurnya pesawat-pesawat tempur Mesir di lain pihak memberikan keuntungan bagi
Israel yang kini bisa mendominasi front udara di sisa Perang 6 Hari. Pada
tanggal yang sama, pasukan darat Israel yang sudah disiagakan di sepanjang
perbatasan Israel-Mesir juga mulai bergerak memasuki wilayah Mesir dengan
harapan bisa memanfaatkan kelengahan Mesir yang masih terkaget-kaget akan
serangan udara mendadak Israel. Awalnya Mesir mengira kalau Israel akan
menyerang wilayah darat Mesir dari arah Sinai tengah & selatan seperti
dalam konflik Suez di tahun 1956. Namun tanpa disangka-sangka, Israel ternyata
melancarkan serangan dari arah Sinai utara & tengah. Pasukan Israel awalnya
mengalami kesulitan saat harus bergerak lebih jauh di Sinai karena terhalang
oleh pasukan Mesir yang terkonsentrasi di Abu-Ageila. Namun dengan cerdik,
mula-mula Israel menerjunkan pasukan penerjun payungnya di belakang garis depan
pertempuran untuk menyabotase artileri milik pasukan Mesir. Rusaknya artileri
pasukan Mesir lantas diikuti dengan pergerakan pasukan darat Israel yang mulai
mengepung Abu-Ageila dari segala penjuru. Pasukan Mesir di Abu-Ageila yang
sudah dikeroyok dari segala arah sempat berusaha melawan sekuat tenaga. Namun
setelah melalui pertempuran sengit selama 3,5 hari, pasukan Mesir akhirnya
memilih untuk mundur meninggalkan Sinai & Abu-Ageila pun jatuh ke tangan
Israel. Dengan mundurnya pasukan Mesir, selebihnya berjalan relatif mudah bagi
Israel & pasukan Israel terus bergerak secara perlahan tapi pasti ke arah
Sinai barat. Memasuki tanggal 8 Juni 1967, wilayah Semenanjung Sinai akhirnya
berhasil dikuasai sepenuhnya oleh Israel.
Tanggal 5 Juni 1967 pagi, pasukan
Yordania mulai membombardir wilayah timur Israel dengan tembakan artileri.
Hujan tembakan artileri tersebut lalu diikuti oleh serangan udara oleh pasukan
Yordania tak lama berselang. Israel lantas membalas serangan-serangan tersebut
dengan serangkaian gelombang serangan udara & tembakan misil darat yang
sukses menghancurkan beberapa pesawat tempur & stasiun radar milik
Yordania. Memasuki sore hari, Israel mulai melancarkan serangan darat
besar-besaran untuk merebut Yerusalem. Pertempuran berjalan sengit &
pasukan Israel awalnya kesulitan untuk menembus garis pertahanan pasukan
Yordania yang berpengamanan tinggi & dilengkapi dengan ranjau. Namun,
pasukan Israel yang dibantu oleh serangan udara akhirnya berhasil menembus
garis pertahanan tersebut & mencapai tepi Yerusalem pada tanggal 7 Juni.
Salah satu kunci keberhasilan dari serangan tersebut adalah karena pesawat
tempur Israel menargetkan tangki bahan bakar eksternal milik tank-tank Yordania
sehingga tank-tank tersebut tak bisa lagi dioperasikan. Di daerah sekitar
Yerusalem, pertempuran sengit masih tetap berlangsung. Pasukan Yordania yang
masih tersisa awalnya masih sanggup bertahan & bahkan sempat berhasil
menghancurkan kendaraan-kendaraan tempur Israel yang berdatangan. Namun,
serangan udara besar-besaran yang dilakukan oleh pasukan Israel selama 2 jam
akhirnya menamatkan perlawanan pasukan Yordania tersebut. Merasa tidak sanggup
lagi bertahan lebih lama menghadapi gempuran pasukan Israel, pasukan Yordania
akhirnya memilih untuk mundur & seluruh wilayah Tepi Barat pun jatuh ke
tangan Israel.
Menyusul beredarnya informasi yang
tidak akurat kalau pasukan Mesir berhasil menundukkan pasukan Israel &
sedang bersiap menyerbu Tel Aviv, ibukota Israel saat itu, Suriah akhirnya
memutuskan untuk mulai ikut terjun ke medan perang. Sebagai serangan pembuka,
Suriah mengirimkan pesawat-pesawat tempurnya untuk membombardir pemukiman
Israel di Galilea, namun pesawat-pesawat tempur Israel dengan sigap mencegatnya
& sukses menembak jatuh 3 pesawat tempur milik Suriah. Pada sore hari
tanggal 5 Juni, Israel melancarkan serangan udara balasan ke wilayah Suriah.
Pesawat-pesawat tempur mereka membombardir pangkalan-pangkalan udara milik
Suriah untuk menghancurkan pesawat-pesawat tempur yang masih diparkir - meniru
taktik yang mereka lakukan di hari-hari awal peperangan di front Mesir. Akibat
serangan tersebut, Suriah kehilangan 30 lebih pesawat militernya & pesawat-pesawat
Suriah yang masih tersisa diperintahkan untuk diparkir di wilayah Suriah yang
lebih dalam. Tanggal 9 Juni dini hari, Suriah yang sejak 5 hari sebelumnya
terlibat kontak senjata kecil-kecilan dengan pasukan darat Israel mengeluarkan
pernyataan gencatan senjata. Namun gencatan senjata tersebut ditolak oleh
Israel yang berdalih ingin "menghukum" Suriah atas keterlibatan
mereka dalam Perang 6 Hari. Maka masih di tanggal yang sama, dengan modal
bocoran informasi dari Eli Cohen - mata-mata Israel yang menyamar sebagai
petinggi militer Suriah - pasukan Israel mulai bersiap untuk menguasai Dataran
Tinggi Golan yang terletak di perbatasan Israel & Suriah. Tanggal 9 Juni
pagi, Israel memulai agresinya dengan melancarkan serangan udara besar-besaran
selama 2 jam yang sukses menghancurkan sejumlah meriam artileri & gudang
logistik milik Suriah. Serangan udara tersebut juga memakan korban jiwa dalam
jumlah besar sehingga imbasnya, moral pasukan Suriah mulai jatuh & banyak
dari mereka yang mulai membelot atau kabur dari medan perang. Di lain pihak,
tak lama sesudah serangan udara dilancarkan, pasukan darat Israel mulai
digerakkan untuk menembus garis pertahanan yang dibangun oleh pasukan Suriah. Pertempuran
darat berjalan sulit bagi kedua belah pihak, terutama karena kondisi Dataran
Tinggi Golan yang berbukit-bukit. Kendati demikian, Israel masih tetap
menunjukkan superioritasnya & secara perlahan tapi pasti mereka terus
bergerak lebih dalam ke wilayah Suriah. Pasukan Suriah di lain pihak hanya bisa
sesekali menahan serangan pasukan Israel sebelum kemudian mundur. Memasuki
tanggal 10 Juni, seluruh wilayah Golan akhirnya berhasil dikuasai oleh Israel
dengan sedikit usaha karena seluruh pasukan Suriah yang masih ada di Golan
ternyata sudah melarikan diri pada hari itu. Dikuasainya Golan sekaligus
menandai berakhirnya Perang 6 Hari dengan kemenangan telak Israel atas
tetangga-tetangganya.
Pasca Perang 6 Hari, wilayah Israel
bertambah luas sebagai akibat dari keberhasilannya menguasai wilayah
negara-negara tetangganya selama perang. Di sebelah selatan, mereka mendapatkan
Semenanjung Sinai & Jalur Gaza dari Mesir. Sementara di sebelah timur,
mereka mendapatkan Tepi Barat dari Yordania & Dataran Tinggi Golan dari
Suriah. Bulan November 1967, PBB menginstruksikan Israel untuk mundur dari
wilayah-wilayah taklukannya tersebut. Namun selain daerah Sinai & Jalur
Gaza, wilayah-wilayah hasil taklukan Israel dalam Perang 6 Hari tetap dikuasai
oleh Israel sehingga terus memicu sengketa hingga sekarang. Kekalahan telak
yang diderita oleh negara-negara Arab dalam Perang 6 Hari tidak membuat mereka
kapok untuk kembali berkonflik dengan Israel. Sejak bulan Juli 1967 alias hanya
sebulan sesudah Perang 6 Hari contohnya, Mesir & Yordania terlibat
pertempuran kecil-kecilan dengan Israel yang dikenal sebagai "Perang
Pengurangan" (War of Attrition) hingga tahun 1970. Tahun 1973, Mesir &
Suriah juga kembali terlibat perang skala besar dengan Israel dalam perang yang
populer dengan nama "Perang Yom Kippur".[2]
Perang Yom Kippur
Pada tanggal 6 Oktober 1973, dengan
harapan untuk mendapatkan kembali wilayah yang hilang diduduki Israel selama
perang Arab-Israel pada tahun 1967, pasukan Mesir dan Suriah melancarkan
serangan terkoordinasi terhadap Israel saat Yom Kippur, hari suci dalam
kalender Yahudi. Menyerang pasukan pertahanan Israel secara mengejutkan,
pasukan Mesir memukul mundur pasukan Israel jauh ke Semenanjung Sinai,
sementara Suriah berjuang untuk menduduki kembali Dataran Tinggi Golan yang
dikuasai oleh Israel. Israel kemudian melakukan serangan balasan dan merebut
kembali Dataran Tinggi Golan. Sebuah gencatan senjata akhirnya diberlakukan
pada tanggal 25 Oktober 1973.
LATAR BELAKANG PERANG YOM KIPPUR 1973
Kemenangan Israel dalam Perang Enam
Hari tahun 1967 mengakibatkan Israel kemudian memperluas empat kali luas
wilayah yang dikuasainya. Mesir kehilangan Semenanjung Sinai dengan luas 23.200
mil persegi dan Jalur Gaza, Yordania kehilangan Tepi Barat dan Yerusalem Timur,
dan Suriah kehilangan Dataran Tinggi Golan yang strategis. Ketika Anwar
el-Sadat menjadi presiden Mesir pada tahun 1970, ia menyadari bahwa Mesir tidak
dapat melanjutkan peperangan dengan Israel karena ekonomi negara tersebut yang
sedang terpuruk. Sadat ingin meciptakan perdamaian, stabilitas dan kembalinya
Semenanjung Sinai, namun setelah kemenangan Israel tahun 1967, tidak mungkin
perdamaian dengan Israel akan menguntungkan Mesir. Sadat kemudian menyusun
rencana berani untuk menyerang Israel lagi. Meskipun jika serangan tersebut
tidak berhasil, Sadar berusaha meyakinkan orang Israel bahwa perdamaian dengan
Mesir diperlukan jika tidak ingin mengalami serangan terus menerus. Pada tahun
1972, Sadat mengusir 20.000 penasihat Soviet dari Mesir dan membangun hubungan
diplomatik baru dengan Washington, D.C., sebagai sekutu kunci Israel yang akan
menjadi mediator penting dalam perundingan damai di masa depan. Sadat kemudian
membentuk sebuah aliansi militer baru dengan Suriah, serta menyusun sebuah
serangan terpadu terhadap Israel direncanakan.
PERANG YOM KIPPUR : OKTOBER 1973
Ketika perang Arab-Israel keempat
dimulai pada tanggal 6 Oktober 1973, banyak tentara Israel menjauh dari pos-pos
mereka yang mengawasi Yom Kippur dan tentara Arab membuat kemajuan yang
mengesankan dengan persenjataan Soviet mereka lebih modern. Pasukan Irak segera
bergabung dalam perang tersebut, dan Suriah mendapat sokongan dari Yordania. Setelah
beberapa hari, pasukan Israel dimobilisasi sepenuhnya, dan Pasukan Pertahanan
Israel mulai memukul mundur gerak maju pasukan Aliansi Arab dengan.
Persenjataan A.S. membantu Israel dalam pertempuran melawan pasukan Arab dengan
persenjataan buatan Soviet, namun Presiden Richard Nixon kemudian menunda
bantuan militer darurat selama sepekan, secara diam-diam AS mulai bersimpati
terhadap Mesir. Pada tanggal 25 Oktober, sebuah gencatan senjata Mesir-Israel
dijamin oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa.
DAMPAK PERANG YOM KIPPUR
Perang Yom Kippur kemudian
dimenangkan oleh Israel, meskipun demikian Israel harus menderita kerugian yang
besar. Pada bulan April 1974, PM Israel Gold Mesir mengundurkan diri setelah
serangkaian kritik bahwa pemerintah kurang persiapan menghadapi pasukan Arab,
sehingga mengakibatkan banyak korban jiwa dari orang-orang Israel. Meskipun
Mesir telah kembali menderita kekalahan dari Israel, citra Mesir dalam
pertempuran meningkatkan prestise Sadat di Timur Tengah dan memberinya
kesempatan untuk mencari kedamaian. Pada tahun 1974, satu dari dua perjanjian
perdamaian Mesir-Israel dilakukan mengakibatkan kembalinya bagian Sinai ke
Mesir. Pada tahun 1979 Sadat dan Perdana Menteri Israel Menachem Begin
menandatangani perjanjian perdamaian lanjutan antara Mesir dan Israel. Pada
tahun 1982, Israel memenuhi perjanjian damai 1979 dengan mengembalikan
Semenanjung Sinai ke Mesir.
Bagi Suriah, Perang Yom Kippur
adalah sebuah bencana. Gencatan senjata Mesir-Israel yang tak terduga
mengekspos Suriah pada kekalahan militer, dan Israel merebut lebih banyak lagi
wilayah di Dataran Tinggi Golan. Pada tahun 1979, Suriah kemudian mengajak dan
mendukung negara-negara Arab lainnya untuk mengusir Mesir dari Liga Arab karena
dianggap sebagai pengkhianat dan mementingkan diri sendiri.[3] Sesudah Perang Yom Kippur,
tidak ada lagi konflik antar negara yang melibatkan Israel, namun mereka tetap
terlibat pertempuran dengan milisi-milisi Palestina & Lebanon hingga
sekarang.
Ibu Kota Israel
Yerusalem
Menurut klaim dan hukum negara
Israel, ibukota Israel adalah Yerusalem. Hal ini diperlihatkan dengan sikapnya
yang memusatkan pemerintahan bahkan kantor Presiden di kota ini. Walaupun
demikian badan PBB dan kebanyakan negara di dunia tidak mengakuinya. Hanya
Republik Ceko, Taiwan, Amerika Serikat, dan Vanuatu yang mau mengakui Yerusalem
sebagai ibukota. Sementara di bagian timur, Palestina juga mengklaim Jerusalem sebagai
ibukota.
Tel Aviv
Tel Aviv berukuran kedua terbesar
dan merupakan pusat keuangan dan teknologi di Israel. Selain itu, kedutaan
besar negara lain ada di kota ini. Karena itu, secara umum ibukota Israel yang
lebih dikenal dunia adalah Tel Aviv. Namun Amerika Serikat melalui pernyataan
Donald Trump berupaya mengembalikan pengakuan atas Yerusalem sebagai ibukota
Israel dan memindahkan kedutaan besar Amerika Serikat. Hal ini menimbulkan
kecaman di seluruh dunia. Sidang darurat Majelis Umum PBB, Kamis 21 Desember
2017 mayoritas akhirnya menentang sikap Amerika dengan 128 suara, dengan 35
suara abstain, dan 9 lainnya mendukung Yerusalem sebagai ibukota Israel, antara
lain Amerika Serikat, Israel, Guatemala, Honduras, Togo, Mikronesia, Nauru,
Palau, dan Kepulauan Marshall. Ancaman Donald Trump untuk mencabut dana hibah
kepada negara-negara yang menentang keputusan Amerika Serikat tidak diindahkan
oleh banyak negara. Bahkan sebelumnya OKI sempat mengadakan Konferensi Tingkat
Tinggi darurat untuk menyatukan sikap mengenai ibukota Yerusalem, yang
berakibat kukuhnya keputusan negara-negara Islam di PBB dalam menghadapi klaim
Amerika Serikat. [4]
Agama dan Suku bangsa yang ada di
Israel serta Zionisme
Menurut data dari Israel Central
Bureau of Statistics, ada hampir 9 juta warga Israel. Meskipun warga Yahudi
adalah mayoritas di Negara Israel (sekitar 70%) yang membuat negara ini menjadi
satu-satunya negara di dunia yang berpenduduk mayoritas Yahudi, tetapi ada
sejumlah suku-bangsa lain yang mendiami kawasan ini. Misalnya, tercatat ada
lebih dari 20% warga Israel adalah Arab, termasuk masyarakat Arab Yerusalem
Timur dan komunitas Arab Badui Naqab. Badui Naqab (Negev Bedouins) adalah
masyarakat Arab Badui pastoral-nomadik yang dalam sejarahnya mengikuti pola
hidup berpindah-pindah sampai kelak di zaman Turki Usmani di abad ke-19,
kelompok ini mengalami proses "sedentarisasi” dan tinggal menetap di
kawasan Naqab (Negev), Israel. Konon ada sekitar 200 ribian komunitas Arab
Badui Naqab ini dan mayoritas mengikuti tradisi Islam Sunni sama seperti
mayoritas masyarakat Arab lain di Israel. Kelompok lain yang cukup besar di
Israel adalah Druze (hampir 2%), kemudian disusul suku-bangsa Aram, Armenia,
Assyria, Circassia, Samarita, dan Maronite. Data penduduk ini belum termasuk
para "imigran gelap” dari sejumlah negara di Afrika.
Jadi, seperti lainnya negara pada
umumnya, penduduk Israel juga sangat majemuk.Sebagaimana warga Yahudi, warga
Israel non-Yahudi (khususnya Arab dan Druze) juga menduduki berbagai posisi
baik di pemerintahan, parlemen, keamanan (tentara/polisi), bisnis, dan berbagai
sektor publik lain. Oleh karena itu, setiap kali Israel terlibat konflik dan
perseteruan dengan Palestina, bukan hanya Yahudi saja yang terlibat kekerasan
ini tetapi juga Druze dan Arab Israel. Karena suku-bangsa Israel sangat
beragam, maka otomatis agama pun sangat beragam. Yudaisme (agama Yahudi) tentu
saja menempati posisi mayoritas di sini, tetapi Islam juga cukup kuat (sekitar 18%),
kemudian disusul Kristen (2%), Druzeisme (1,6%) dan lainnya, termasuk Hindu dan
Buddha. Seperti umumnya suku-bangsa lain di dunia ini, Yahudi juga sangat
beragam dalam mengekspresikan keagamaan dan spiritualitas. Jelasnya, tidak
semua orang Yahudi itu beragama atau memeluk "agama Yahudi” atau Yudaisme
(Judaism). Banyak orang Yahudi yang memeluk agama non-Yudaisme atau bahkan
tidak beragama (menjadi pengikut sekularisme, agnotisisme, atau scientology).
Banyak orang Yahudi yang memilih beragama Kristen dari berbagai denominasi.
Bahkan ada pula yang memeluk agama Islam yang populer dengan sebutan "Jews
for Allah” dan membaca Al-Qur'an dalam Bahasa Ibrani. [5]
PANDANGAN
DUNIA TERHADAP ISRAEL
Pada masa awal berdirinya negara Yahudi
yang terjadi karena adanya pembagian wilayah Palestina, negara-negara timur atau
koalisi Arab memandang bahwa Israel sebagai sebuah ancaman bagi Negara mereka
dimana Israel dianggap akan melakukan perluasan wilayah-nya dengan merebut
daerah-daerah Arab. Berbeda pandangan dengan pihak timur, pihak barat seperti
Amerika dan Inggris justru memandang Israel sebagai pemilik sah tanah palestina
sehingga Israel layak didukung untuk menjadi sebuah negara. Menuju masa modern,
pandangan dunia terhadap Israel tetaplah tidak bisa berada dalam satu kacamata.
Pada masa pemerintahan Presiden Amerika Donald Trump, ia mengklaim bahwa Yerusalem
adalah ibukota sah Negara Israel. Singkatnya, amerika menjadi negara pendukung
penuh Israel dan melihat bahwa bangsa yahudi mempunyai hak penuh atas Yerusalem.
Berbeda dengan Amerika, Indonesia dan negara
islam lainya memandang bahwa Amerika yang seharusnya berperan sebagai mediator
perdamaian Israel-Palestina justru malah menjadi penyulut lahirnya konflik
Israel-Palestina yang lebih sengit. Negara-negara Islam seperti indonesia
menolak klaim atas Yerussalem ini dan melihat bahwa sikap Amerika dan Israel akan menjadi ancaman besar
bagi perdamaian negara-negara di Timur-tengah. Sampai sekarang Indonesia belum
mengakui kedaulatan Israel, walaupun kedaulatan Palestina diakui meskipun
daerahnya belum pasti. Mantan presiden RI Abdurrahman Wahid (1999-2001) sempat
berencana akan mengakui kedaulatan Israel dan membuka hubungan diplomatik,
namun mendapatkan kecaman dan penentangan dari kelompok Muslim Indonesia.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan tidak akan membuka hubungan dengan
Israel sebelum masalah Palestina dipecahkan dan pendudukan Israel atas
Palestina diakhiri. Citra israel dimata negara timur lainya juga cenderung
buruk, akibat dari perang Gaza tahun 2009, Mauritania, Qatar, Bolivia, dan
Venezuela menghentikan hubungan politik dan ekonomi dengan Israel. Citra negara
israel dimata sebagian negara barat dan asia ditunjukan dengan adanya hubungan
luar negeri Israel dengan Amerika Serikat, Turki, Jerman, Britania, dan India
yang baik. Amerika Serikat merupakan negara pertama yang mengakui berdirinya
Israel, diikuti oleh Uni Soviet. Amerika Serikat menganggap Israel sebagai
sekutu utama Timur Tengah. Walaupun Turki dan Israel tidak memiliki hubungan
diplomatik penuh sampai dengan tahun 1991, Turki telah melakukan kerja sama
dengan Israel sejak pengakuan Turki terhadap kemerdekaan Israel pada tahun
1949. Oleh karena Turki juga berhubungan baik dengan negara-negara Arab di
Timur Tengah, beberapa kali Turki mendapatkan tekanan yang besar agar Turki
memutuskan hubungan dengan Israel. Hubungan kedua negara surut ketika Turki
mengutuk serangan Israel ke Gaza pada tahun 2009.[6]
Daftar
Pustaka
(2018, April 10). Retrieved from https://id.wikipedia.org/wiki/Israel
(2018, April 10). Retrieved from
https://en.wikipedia.org/wiki/Six-Day_War
(2018, April 10). Retrieved from
https://en.wikipedia.org/wiki/Origins_of_the_Six-Day_War
(2018, April 22). Retrieved from
https://nasional.kompas.com/read/2016/03/30/08121201/Hubungan.Indonesia-Israel.Polemik.Menghangat.di.Awal.Pemerintahan.Gus.Dur
Context and Proximate Causes of the War. (2018, April 10). Retrieved from
http://www.sixdaywar.co.uk/6_day_war_aftermath_prof_adler_context_pt1.htm
Donald Trump: Yerusalem adalah ibu kota Israel. (2018, April 22). Retrieved from
http://www.bbc.com/indonesia/indonesia-42251271
Edisi Koleksi Angkasa : Perang Hizbullah-Israel. (2006). Jakarta: Pt. Gramedia.
Hubungan Indonesia Israel polemik menghangat di awal
pemerintahan Gusdur. (2018, April
22). Retrieved from
https://nasional.kompas.com/read/2016/03/30/08121201/Hubungan.Indonesia-Israel.Polemik.Menghangat.di.Awal.Pemerintahan.Gus.Dur
Israel Ibu Kota. (2018, April 10). Retrieved from
https://id.wikipedia.org/wiki/Israel#Ibukota
Perang Yom Kippur 1973. (2018, April 22). Retrieved from
http://www.hariansejarah.id/2017/05/perang-yom-kippur-1973.html
Qurtuby, S. A. (2018, 04 10). Sejumlah kesalahpahaman
tentang Israel dan Yahudi. Retrieved from
http://www.dw.com/id/sejumlah-kesalahpahaman-tentang-israel-dan-yahudi/a-41927515 Penulis: Sumanto Al Qurtuby Dosen Antropologi Budaya dan Direktur
Scientific Research in Social Sciences, King Fahd University of Petroleum and
Minerals, Arab Saudi, serta Senior Scholar di National University of Singapore.
Ia memperoleh gelar doktor dari Boston University dan pernah mendapat visiting
fellowship dari University of Oxford, University of Notre Dame, dan Kyoto University.
Ia telah menulis ratusan artikel ilmiah dan puluhan buku, antara lain Religious
Violence and Conciliation in Indonesia (London & New York: Routledge, 2016)